Dari sekian banyak kegiatan materi yang diberikan, ada satu kegiatan yang paling dinanti oleh setiap peserta prakondisi. Tidak lain dan tidak bukan adalah pengarahan mengenai gambaran real dari lokasi penempatan pengabdian.
Manggarai, Nunukan, Malinau, Sitaro, Talaud, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Maybrat, Sorong Selatan......
Salah satu dari Sembilan kabupaten itulah yang akan menjadi lokasi penimbaan ilmu yang sebenarnya tentang kehidupan, tentang gambaran Indonesia yang sesungguhnya. Gambaran Indonesia yang tidak hanya bisa ditonton lewat televisi, lewat program-program menyentuh hati nurani. Melainkan gambaran Indonesia yang akan kita lihat dengan mata telanjang tanpa ada sedikitpun yang mungkin tertutupi dari sudut-sudut negeri paling depan, luar dan mungkin masih tertinggal dengan kemegahan pusat ibu kota yang hingar bingar dengan kehidupannya hingga tidak sempat untuk menoleh atau hanya bertegur sapa dengan mereka.
*******
Manggarai...
Salah satu kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Timur yang menjadi sasaran dari program magic ini, punya banyak cerita sesuai dengan pengalaman yang diceritakan langsung oleh “dedengkot” SM3T angkatan pertama yang kebetulan telah mengenyam dan membaur dengan kehidupan warga disana selama setahun.
Daerah yang sulit akan sumber air, yang mengharuskan putra-putri generasi bangsa untuk bersedia setiap hari membawa jerigen-jerigen air untuk mencukupi kebutuhan konsumsi air keluarga dan di sekolah. Kaki-kaki mereka yang kecil harus bersiap mengayunkan langkahnya lebih jauh yang tidak jarang mereka harus berjalan berkilo-kilo meter melalui perbukitan yang curam hanya untuk mengenyam bangku pendidikan. Ya, itulah Manggarai dengan ceritanya sendiri.
Nunukan, Malinau.....
Kalau melihat kondisi letak geografis kedua kabupaten ini, tidak salah jika Kabupaten di Kalimantan Utara ini juga menjadi sasaran program ini. Kabupaten yang menjadi etalase negara bagi Indonesia untuk Malaysia, kabupaten yang sempat menjadi perebutan kedua negara ini memang butuh sentuhan-sentuhan dari pemerintah pusat untuk bisa bermetamorfosa menjadi kabupaten yang bisa diandalkan dan membawa perbandingan yang tidak terlalu jauh dengan negara serumpun itu-katanya-.
Sungai dan perahu menjadi jalur dan alat transportasi andalan wilayah ini. Begitu juga yang akan dilakukan oleh para sarjana yang mendapat kehormatan melakukan pengabdian di daerah tersebut untuk satu tahun kedepan. Tidak jarang, lokasi yang harus mereka tuju menuntut mereka untuk siap mengarungi jeram-jeram terjal yang siap menghadang dan siap untuk menciutkan nyali. Bahkan untuk sampai ketempat tersebut, terkadang mereka harus siap untuk bermalam di “hotel alami” yang sudah disediakan Tuhan untuk umat-Nya, hotel dengan keasrian dan kenaturalannya. Hotel dengan permadani rumput asli, dan beratapkan indahnya lukisan tuhan diatas langit. HUTAN. Ya, mungkin hanya itu hotel yang bisa menjadi tempat membaringkan penat untuk sementara sebelum harus melanjutkan ke lokasi. Atau, malah mereka harus memanggul perahu yang mereka tumpangi karena ketidakmampuan raja sungai itu untuk melawan jeram-jeram yang telah terhampar disepanjang sungai. Malinau, Nunukan kabupaten kaya air dan sungai laksana lautan.
*******
Sitaro, Talaud....
Kalo pernah denger salah satu jingle dari produk mie instan, mungkin kita pernah mendengar kabupaten Talaud disebut.
“Dari Sabang sampai Merauke
Dari Talaud sampai pulau rote”
Kedua kabupaten ini merupakan kabupaten kepulauan yang terletak di ujung pulau Sulawesi yang langsung berbatasan dengan negara Filipina. Sesuai dengan kondisi geografisnya, transportasi darat tidak begitu dominan berlaku disini. Ketingting dan Perahu lah yang menjadi andalan dan primadona, yang membedakan dengan Nunukan dan Malinau kalau disana harus mengarungi sungai yang memiliki karakteristik seperti laut, disini kita benar-benar hidup diatas laut.
Kabupaten Kepulauan. Artinya kabupaten ini memiliki daratan yang dibatasi dengan lautan yang menjadi teman dan penghambat mereka. Menjadi teman, karena lautanlah yang menyediakan kehidupan bagi mereka. Menyediakan berbagai macam biota didalamnya yang bisa diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kebutuhan hidup. Menjadi penghambat, ketika cuaca tidak lagi bersahabat sehingga membatasi gerak dan aktifitas warganya termasuk untuk mencari penghidupan.
*******
Pegunungan Bintang dan Jayawijaya....
Dua sosok hitam bertubuh tambun sudah siap duduk didepan ratusan pasang mata yang menatap penuh harap untuk bisa mendapatkan cerita dan gambaran mengenai kedua kabupaten ini. Dua kepala dinas dari kabupaten ini bersedia hadir untuk melihat langsung persiapan para sarjana mendidik bangsa yang mungkin akan ditempatkan di wilayah mereka.
Jayawijaya, kabupaten yang mungkin sudah setara dengan Surabaya jika dibandingkan lokasinya di Papua ini sudah terbilang maju. Hal itu tidak lain, karena kabupaten ini merupakan kabupaten induk yang sudah terpecah-pecah dan dimekarkan menjadi beberapa kabupaten-kabupaten yang siap berjalan beriringan dengan induknya.
Ada pertanyaan menggelitik ketika momen ini.
“Apa di Papua ada Beras?”.
Pertanyaan sederhana yang mungkin tidak perlu dipertanyakan ketika kita berada di Pulau Jawa. Maklum, kami warga pulau Jawa sudah terbiasa dengan makanan pokok negara ini bahkan ada ungkapan bagi orang jawa.
“Kalau belum makan nasi, itu berarti kita belum sarapan”.
Mungkin itulah yang menjadi dasar pertanyaan itu bisa terlontar dari mulut salah satu peserta yang mungkin saja itu mewakili dari ratusan peserta yang mungkin tidak punya keberanian untuk mengungkapkan pertanyaan sederhana itu.
Dari uraian yang disampaikan kepala dinas pendidikan jayawijaya, keadaan disana tidak ubahlah seperti kondisi kota-kota yang ada di jawa, minimarket sudah tersedia, beras dengan berbagai kualitas dan merkpun juga ada tergantung dengan seberapa tebal isi dompet kita.
Lain jayawijaya, lain pula pegunungan bintang. Kabupaten hasil pemekaran dari jayawijaya ini menyuguhkan pemandangan yang luar biasa dengan cerita tersendiri. Bagaimana tidak? Untuk bisa sampai ke lokasi para peserta harus melakukan perjalanan yang panjang dan memakan waktu yang lama. Dengan kondisi geografis yang didominasi pegunungan, sehingga antar distrikpun terletak di lain gunung, alhasil untuk bisa mencapai satu distrik ke distrik yang lain hanya “besi terbanglah” yang dapat menjangkau.
Pernyataan itu, sedikit menggelitik pikiranku. Apabila disana alat transportasi yang digunakan adalah pesawat terbang, berarti ada banyak bandara disana hal ini berarti kondisi keadaan di Pegunungan Bintang pastilah sudah maju. Namun setelah video kondisi disana ditayangkan, semua jauh dari apa yang dibayangkan di awal. Bandara yang dibayangkan dengan aspal yang mulus yang siap merangkul erat roda setiap pesawat yang akan mendarat tidak ada, yang ada hanya tanah lapang yang dibuat rata dan itupun memiliki lokasi diatas puncak gunung. Namun terlepas dari itu semua, Pegunungan Bintang menyuguhkan pemandangan tentang keasrian dan begitu terpeliharanya hutan tropis yang ada di Indonesia yang merupakan salah satu paru-paru penunjang keseimbangan dunia.
*******
Maybrat, Sorong Selatan...
Tidak ada yang bisa diceritakan dan dibagikan pengalaman untuk kedua lokasi penempatan ini. Hal ini dikarenakan, kedua lokasi penempatan ini merupakan lokasi baru bagi LPTK penyelenggara program ini dimana aku mendaftarkan diri untuk menjadi bagian keluarga besarnya –Universitas Negeri Malang–. Yang jelas, kedua kabupaten ini berada di Provinsi Papua Barat dan merupakan pemekaran dari wilayah provinsi Papua. Berarti kedua kabupaten ini berada di provinsi baru yang artinya kedua kabupaten ini juga merupakan kabupaten baru yang masih butuh banyak sentuhan baik itu pembangunan di bidang fisik maupun dibidang pendidikan dan pelayanan kesehatan.



.jpeg)





0 komentar